Sejarah Kalurahan Guwosari

03 April 2014
Administrator
Dibaca 1.059 Kali

Desa Guwosari dibentuk dari gabungan dua desa, yakni Selarong dan Iroyudan berdasarkan perintah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bulan Oktober 1947. Nama Guwosari dipilih sebagai jalan tengah agar bisa diterima seluruh masyarakat tanpa menghilangkan icon Wilayah yakni Gua Selarong atau Gua Secang. Nama Guwosari sendiri menjadi sebutan lain dari Kawasan atau Wilayah yang disebut Selarong karena sebutan Selarong pada masa Perang Jawa meliputi seluruh Desa Guwosari bahkan sampai desa- desa sekitarnya.

Sejarah dan asal nama Desa Selarong sangat jelas karena termuat dalam ingatan Trah Demang Joyosentono, sebagai keturunan Pangeran Aryo Selarong yang namanya diabadikan menjadi nama Desa Selarong. Juga trah dari keturunan saudara tiri Pangeran Aryo Selarong, yakni Pangeran Bumidirjo. Sedangkan nama Iroyudan masih simpang siur. Menurut keyakinan masyarakat nama Iroyudan berasal dari nama Kyai Ageng Wiroyudo, Panglima Besar Sultan Hamengkubuwono I dan sekaligus Kakek dari Istri Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Akan tetapi dalam peta kuno, peta Perang Jawa, nama Desa Iroyudan tidak tertulis, tampak menjadi bagian dari wilayah Selarong. Kemungkinan besar pada masa lalu sampai berakhirnya Perang Jawa, Desa Iroyudan merupakan bagian dari Desa Selarong.

Nama Selarong berasal dari nama Pangeran Aryo Selarong, putra Prabu Hanyokrowati atau Pangeran Sedo Krapyak, raja kedua Kasultanan Mataram dari Istri Permaisuri I (Kulon), Ratu Tulung Ayu. Belum diketahui pasti nama mudanya apakah RM. Wuryah ataukah RM. Chakra, karena keduanya memakai nama gelar yang sama yakni Pangeran Aryo Selarong. Namun dimungkinkan keduanya adalah orang yang sama.

Sebagai putra dari permaiusri utama, Pangeran Aryo Selarong sebenarnya memiliki hak atas tahta, namun merelakan untuk adiknya, RM. Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo, bahkan berjuang mendukung demi kejayaan Kasultanan Mataram melalui jalur agama dan militer, di antaranya memimpin penaklukan Jember dan Pasuruan. Namun tatkala pemerintahan beralih ke raja selanjutnya, Amangkurat I, beliau bersikap menentang karena raja banyak melakukan tindak angkara dan sewenang wenang, jauh dari agama.

 

Beliau memutuskan meninggalkan kraton, tinggal di desa yang sekarang disebut Selarong untuk mendirikan pesantren. Beliau menjadi penguasa Selarong dan dilanjutkan anak keturunannya. Beliau wafat tahun 1669 dibunuh oleh prajurit sandi Prabu Amangkurat I di desa Bareng, Kuwel, Delanggu. Peristiwa tersebut tertulis dalam Babad Momana dan laporan Rijklof van Goens kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, Joan Maetsuicker, dan tulisan Sejarawan Belanda Hermanus Johannes de Graaf. Untuk menghormati, desa tempat tinggal beliau kemudian disebut Selarong. Kekuasaan secara berturut-turut dipegang oleh anak keturunannya, yakni :

  1. Panembahan Aryo Selarong II (Raden Mas Abdullah).
  2. Panembahan Aryo Selarong III (Raden Mas Wongsokoro)
  3. Kenthol
  4. Kenthol
  5. Kenthol Wongsomenggolo
  6. Kenthol
  7. Raden Joyosentono (Demang).

Sampai berakhirnya Perang Jawa (1830) luas wilayah kekuasaan atau luas Desa Selarong sangat bisa jadi meliputi wilayah yang sangat luas sampai disekitar Pegunungan Selarong, terrmasuk Desa Iroyudan, tentunya. Baru setelah berakhirnya Perang Jawa yang diikuti dengan penataan administrasi dan pembentukan desa-desa, wilayah Desa Selarong dipersempit hanya meliputi 8 dusun saat ini. Wilayah lain yang termasuk dalam Desa Guwosari saat ini menjadi Desa tersendiri dengan nama Iroyudan.

Saat pecah Perang Jawa, Masyarakat Selarong (Selarong dan Iroyudan) menjadi pendukung utama bahkan yang pertama kali siap berperang dan disiapkan Pangeran Diponegoro untuk berperang. Nama Raden Joyosentono tertulis sembilan kali dalam Babad Dipanegara Manadho tulisan Pangeran Diponegoro sendiri, di mana bisa terbaca jelas kiprah beliau yang luar biasa dan kedekatan beliau dengan Pangeran Diponegoro serta tiga panglima besar beliau, yakni : Ali Basah Abdul Kamil, Ali Basah Senthot Prawirodirjo, Ali Basah Abdul Latif (Kerto Pengalasan).

Usai Perang Jawa (1830), Kasultanan Yogyakarta melakukan penataan administrasi, diantaranya dengan membentuk Kabupaten Bantul dan pembagian wilayah-wilayah di dalamnya. Dimungkinkan saat  inilah  Selarong  dan  Iroyudan  dibentuk  menjadi  desa  dengan

 

dipimpin seorang demang. Untuk Selarong, diangkatlah Raden Joyosentono menjadi demang dan kemudian dilanjutkan anak keturunannya : Demang Atmorejo, Demang Atmosentono, dan Demang Kertosentono.

Masyarakat dan Penguasa Selarong saat itu, yakni Kenthol Ongkojoyo, yang merupakan pendukung utama Pangeran Diponegoro menerima kebijakan penataan administrasi tersebut karena meyakini bahwa Pangeran Diponegoro suatu saat akan kembali ke Yogyakarta dan mendirikan Kerajaan tersendiri dengan wilayah kekuasaan meliputi sebelah timur Kali Progo dan sebelah barat Kali Opak, berpusat di Selarong. Bahkan peran Kenthol Ongkojoyo dalam membidani lahirnya Kabupaten Bantul sangatlah besar. Oleh karena itulah makam beliau tidak berada di Selarong namun di Bantul Karang, pusat pemerintahan Kabupaten Bantul di masa awal.

Keyakinan Masyarakat dan Penguasa Selarong tersebut karena Pangeran Diponegoro statusnya belumlah menjadi tahanan negara. Beliau dinyatakan ditahan baru tahun 1839. Terlebih lagi, sebenarnya tidak ada penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku sejarah. Berdasarkan buku Babad Dipanegara Manadho, peristiwa sebenarnya adalah upaya berunding dengan Van den Bosch. Dan kenyataannya Van den Bosch menyanggupi tuntutan Pangeran Diponegoro. Kepergian Pangeran Diponegoro meninggalkan Jawa ke Manadho bukan karena dipenjara melainkan untuk menghindari perang berkelanjutan dan bentuk upaya penantian terhadap terkabulnya tuntutan-tuntutan Pangeran Diponegoro.

Pada akhirnya setelah sekian lama menunggu tak ada kepastian akan kepulangan Pangeran Diponegoro, Selarong berlanjut menjadi sebuah kademangan. Demikian juga dengan Iroyudan. Namun, semangat perjuangan Pangeran Diponegoro tetap mendarah daging dalam sanubari Masyarakat Selarong dan Iroyudan.

Status Kademangan berakhir pada tahun 1914 di mana Kasultanan Yogyakarta kembali melakukan penataan administrasi dan penguasaan atas tanah. Membentuk Desa atau Kalurahan, membagi tanah kepada rakyat, merubah bentuk penarikan pajak dari pajak natura atau bagi hasil menjadi pajak uang. Saat itulah lahirnya Desa atau Kalurahan Selarong dengan pusat pemerintahan di bekas rumah Raden  Joyosentono,  di  Dusun  Gandekan,  dengan  wilayah meliputi

 

Dusun Gandekan, Dukuh, Kentholan Kidul, Kentholan Lor, Kembangputihan, Pringgading, Bungsing, dan Watu Gedug. Sedangkan Desa Iroyudan berpusat di Dusun Iroyudan dengan wilayah meliputi Dusun Iroyudan, Kadisono, Karangber, Santan, Kalakijo, Kedung, Kembang Gede. Pemimpin wilayah bukan lagi demang, melainkan Lurah dan bukan lagi berdasarkan keturunan.

Selanjutnya, pada tahun 1947 Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan perintah penggabungan desa-desa di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Oktober 1947 Desa Selarong bergabung dengan Desa Iroyudan dengan nama baru Guwosari dengan lurah pertama tahun 1946 -1961 yaitu Sukrowardi. Tahun 1961 jabatan lurah digantikan oleh Ngumar sampai tahun 1988. Tahun 1988 -1992 lurah dijabat oleh Budiman sebagai Penjabat Sementara. Tahun 1992 dilaksanakan pemilihan lurah untuk pertama kalinya dan terpilih sebagai lurah M. Daim Raharjo sampai tahun 1995.

Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel sejarah kepemimpinan Desa Guwosari sebagai berikut :

No.

Tahun

/Periode

Nama Lurah Desa

Keterangan

1.

1946 - 1961

Sukrowadi

Kembangputihan

2.

1961 – 1989

Ngumar

Kembangputihan

3.

1989 – 1992

Budiman

Pejabat Sementara

4.

1992 – 1995

M. Daim Raharjo

Karangber

5.

1995 – 1997

Zainuri

Pejabat Sementara

6.

1997 – 2000

M. Zainuri

Iroyudan

7.

2000 – 2002

Drs. Abani

Pejabat Sementara

8.

2002 – 2012

Abdul Basyir, S.Ag

Santan

9.

2012 – 2018

H. Muh. Suharto

Iroyudan

10.

2018 - 2024

Masduki Rahmad, SIP

Pringgading



Dokumen Lampiran

RPJMDes Guwosari